Oleh: M. Kava Zulfikri*
KABAR RAKYAT, EMBONGAN - ‘Indonesia adalah negara kaya yang belum makmur dan sejahtera. Beginilah Indonesia yang sangat kita sayangi dan cintai. Negeri Ini memiliki sumber kekayaan alam berlimpah dan juga berbagai potensi yang luar biasa. Namun sayangnya, disisi lain negeri ini ternyata belum juga bisa keluar dari zona keterpurukan ekonomi.
Dengan kata lain, kita seakan-akan hidup di tengah lautan paradoks: Subur tak juga Makmur, kaya tak kunjung sejahtera’. Sengaja kegelisahan tersebut penulis kutip dari buku elektronik Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) yang berjudul ‘Semua Bisa Berakasi’.
Tentu kegelisahan tersebut lahir dari fakta yang dialami Indonesia dan sudah melalui penelitian yang matang. Artinya korupsi sudah bukan lagi wacana, namun sudah menjadi wajah Indonesia.
Amat miris melihat data Indeks Persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 dan 2019. Bagaimana tidak?, data yang dirilis oleh Transparansi International Indonesia (TII) menurun dari 40 menjadi 37 dan mengusir peringkat Indonesia yang mulanya peringkat 85 menjadi peringkat 102.
Jika meminjam istilah Zainal Arifin Mochtar, Peneliti Pukat korupsi Fakultas hukum Universitas Gajah Mada, maka ini merupakan penurunan tertinggi Indonesia jika diukur dalam transisi demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia, detailnya pasca Presiden Habibie.
Baca Juga: Gubernur Khofifah Menetapkan Timbul Prihanjoko sebagai Plt Bupati Probolinggo
Sejatinya sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, nilai Indonesia terus mengalami kenaikan meskipun itu tipis. Terkecuali pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mana sempat menurun 1 poin (2006-2007), kemudian naik lagi 3 poin pada tahun (2008). Dalam artian, anjloknya 3 poin kemarin (2019-2020) merupakan kejadian pahit yang dialami Indonesia.
Setelah kita mengetahui bersama kondisi Indonesia secara umum, penulis mengajak pembaca untuk melihatnya dalam lingkup kedaerahan.
Sebab, numpuknya kasus korupsi skala nasional pasti juga berkaitan dengan banyaknya korupsi di tingkat daerah, termasuk berapa banyak pejabat dan siapa saja yang paling sering melakukan korupsi berdasarkan data yang dirilis oleh KPK per 1 Januari 2021.
Dari data tahun 2004-2020 tersebut, terlihat jelas bahwa Walikota/Bupati dan Wakilnya menempati urutan ke-5 dengan total 122, dibawah lainya (157), Eselon I/II/III (230), Anggota DPR dan DPRD (274), dan swasta (308). Itu merupakan data yang berhasil dihimpun, tentu masih ada banyak yang berhasil lolos dari pendataan KPK.
Baca Juga: Menyapa Petugas Sosial Masyarakat, Pendamping ODGJ 'Orang Gangguan Jiwa'
Besarnya korupsi yang dilakukan oleh pejabat strategis tentu harus dibarengi dengan hukum dan penegakan hukum yang tegas. Yang itu tidak bisa lepas setidaknya dari peran kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Meskipun pada faktanya banyak kasus korupsi yang mangkrak tidak ditindaklanjuti dengan cepat dan tegas.
Selanjutnya total berapa kasus yang diselidiki, disidik, dituntut, inkracht, hingga berhasil eksekusi dapat dilihat pada lama KPK terkait statistik penindakan. Dimana itu terakhir di update pada 08 mei 2021. Dari di atas akan lebih memberikan gambaran bagaimana penindakan kasus korupsi di Indonesia.
Artikel Terkait
Bupati/Walikota Se Jabar Komitmen Berantas Korupsi
LBIH Semar Klaim Investigasinya Temukan Korupsi BSPS 2020 - 2021
PMII Tasikmalaya Desak Kejaksaan Negeri Tuntaskan Dugaan Kasus Korupsi Bansos Pemprov Jabar
Legalisasi Korupsi Melalui SK, Apakah Termasuk Kepastian Hukum? dan Dapat Dibenarkan Hukum?